Short Story - Jalan Keluar
Jalan Keluar
Hujan masih bergemuruh di
luar sana, bersahutan dengan angin dan kilatan cahaya. Waktu telah menunjukkan
pukul 5 sore, dan aku masih belum beranjak dari tempat dudukku sejak satu jam
yang lalu. Ditemani coklat panas yang kepulannya sangat menawan dan temanku
yang sama-sama sedang menikmati tetesan hujan yang merayap di kaca. Kami
memutuskan untuk menikmati hujan ini di cafe dekat kampus. Bukan, bukan! Sebenarnya kami dihalau
hujan saat hendak pulang, tidak benar-benar untuk menikmati hujan. Tetapi
setidaknya hal ini membuat kami lupa sejenak akan makalah-makalah dan
presentasi yang cukup membuat kepala pening
Hari itu cafe sangat penuh oleh
mahasiswa yang memiiki niat sama dengan kami, sehingga pramusaji dibuat sibuk
oleh kedatangan mahasiswa secara tiba-tiba. Mungkin inilah yang disebut berkah
hujan. Dan aku hanya memandang tetesan hujan di balik kaca, sekaligus
menangkap bayangan orang yang memaksa untuk menerjang hujan. Tak lebih dari
sekedar memandang, tak berpikir dan tak juga membuat teori-teori aneh yang
terkadang melintas dalam otak.
Lautan
umat muslim tampak memadati area Monas,
walaupun hujan turun cukup deras, namun tak menyurutkan semangat massa aksi
perdamaian ini. Aksi yang digelar dalam rangka membela umat islam ini terpantau
kondusif dan aman. Massa menuntut Tjiang Chen, Gubernur DKI Jakarta untuk
dibawa ke meja hijau atas dugaan penistaan agama.
Suara lantang sang reporter dari
televisi menarik perhatian kami, massa yang berjumlah ribuan orang tersebut
terpampang dalam layar televisi. Temanku kembali ke posisi duduk semula dan
menarik nafas panjang. Agaknya siaran tadi sedikit mengganggu pikirannya, ia
menerawang, melihat keluar jendela. Sepertinya sedang menyiapkan
gagasan-gagasan arogannya seperti biasa, kemudian ia bersandar pada kursi dan
menatapku dengan gusar.
“Aisyah, bagaimana pendapatmu
tentang siaran tadi?” tanyanya.
“Pendapat
bagaimana?” tanyaku sembari menyesap coklat panas yang mulai menghangat
“Apa kau tidak gusar melihat aksi
tadi?” keningnya mulai berkerut
“Kenapa
harus gusar?” tanyaku, ia mulai sedikit kesal dengan jawabanku
“Begini
Aisyah, menurutku aksi tadi benar-benar tidak toleran. Maksudku, aku juga
seorang muslim, namun aku juga menjunjung tinggi toleransi sesama umat
beragama. Oke, wajar kalau umat
muslim marah dengan apa yang Gubernur itu katakan, namun jika kita pikirkan
lagi, who knows dia tidak tahu dengan
kitab kita dan maksud dia bukan kesana. Kenapa tidak kita bicarakan baik-baik,
lalu beliau membuat klarifikasi tentang itu” ucap temanku dengan berapi-api, ah
ia memang seperti itu.
“Lalu
kenapa kamu tidak berbicara saja kepada mereka tentang apa yang kamu pikirkan?”
jawabku lagi
“Apa
kau gila? Aku seorang diri harus
berbicara one by one kepada
jutaan muslim di Indonesia? How can I do that?”
ia melebarkan tangannya di udara, aku hanya tersenyum.
“Kau
bisa menggunakan media sosial untuk mengatakannya” ucapku, lalu dia menggeleng.
“Itu
akan menimbulkan cyberbullying” ia
kembali melipat tangannya
“Lantas?” tanyaku sambil
menyandarkan tubuhku di kursi, ia menarik nafas berat lalu menegakkan kembali
punggungnya.
“Orang-orang harus mencoba untuk open mind, coba pikirkan. Dari aksi ini pasti ada
pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik, mencari perhatian
agar massa melihat bahwa para politisi itu sejalan dengan apa yang mereka
lakukan. Mereka akan mengeluarkan segala tipu daya dan muslihat yang sudah
mereka persiapkan” tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan gemas, aku hanya
tersenyum.
“Berarti
kau juga harus open mind terhadap
aksi ini, siapa tahu mereka melakukannya dengan niat tulus kan? Kenapa tidak
kita tanya dan telusuri baik-baik seperti yang kau katakan di awal?” aku mulai
mencondongkan badanku, tertarik dengan jawabannya, ia sedikit terperangah dan
mengacak-acak poninya dengan gusar
“Bukan bukan begitu, aduh kau
mengerti tidak apa yang kumaksud?” ucap temanku, wajahnya terlihat meringis dan
mencoba mencari kata yang tepat untuk menjelaskan maksudnya.
“Baik
begini, Naina coba bayangkan ada seseorang yang berkata tentang keluargamu, dan
kau anggap itu sebagai penghinaan, bagaimana reaksimu?” Tanyaku selembut
mungkin, temperamennya memang mudah marah dan gagasannya selalu arogan.
“Pertanyaan
bodoh, tentu saja aku akan membela keluargaku. Apalagi kalau mereka mengatakan
yang tidak keluargaku lakukan, itu sudah memfitnah keluargaku” jawabnya lagi
sambil merapikan poni yang ia acak-acak tadi.
“Nah, sama halnya dengan aksi ini, semua
orang ini adalah keluarga dan mereka membela kitab mereka. Salah satu surah di Alquran dikatakan sebagai
alat untuk menipu massa, namun fungsi sebenarnya bukan itu kan. Surah itu
digunakan memang sebagi perintah untuk umat muslim. Lagian bagus, kan? dengan aksi ini umat muslim
jadi bersatu kembali” jelasku dengan hati-hati, ia terdiam beberapa saat,
mencoba mencerna apa yang kukatakan dan mempersiapkan sanggahan untuk
penjelasanku.
Lalu
aku menatap keluar jendela, hujan sudah reda, tinggal menyisakan butian-butiran
air kecil yang bisa diterjang manusia. Naina terlihat akan menyanggah, namun
aku menghentikannya.
“Kita
lanjutkan di Bis. lihat hujannya sudah
reda” ucapku sambil menggunakan jaket dan merapikan kerudungku. Ia menatap
keluar jendela dan bergegas memakai jaketnya.
Kami
segera mengambil tas dan membayar pesanan kami lalu keluar. Genangan air
menyambut langkah kami, sehingga harus berhati-hati saat melangkah agar tidak
membuat cipratan yang dapat mengotori sepatu kami. Angin dingin menghembus
menerpa kulit wajah, sedikit menggigil kami menunggu bis. Hujan hari itu
membuat suhu udara menurun, dan kabut mulai turun.
Tak
lama kemudian, bus kami datang dan kami bergegas untuk naik. Saat menaiki bus aku
hanya melihat bapak-bapak dibelakang
yang sedang mengantuk, ibu dan dua anaknya, seorang pemuda yang sedang
mendengakan musik dan kami berdua. Bus saat
ini terasa kosong, mungkin orang-orang enggan keluar rumah dan tidak rela kulitnya terkena
hembusan angin dingin, sehingga mereka memilih untuk berdiam diri di rumah. Aku segera duduk begitu mataku melihat kursi yang
kosong.
“Nah
Aisyah kita lanjut pembahasan tadi, oke
menurut kau setelah aksi ini umat islam jadi bersatu, tapi nyatanya masih saja
alirannya berbeda-beda, dan saling menyebut sesat satu sama lain, lantas letak
bersatunya di mana?” Naina kembali
membuka diskusi alot tadi, wajahnya sangat bersemangat apabila dia ingin
membahas sesuatu.
“Bersatu bukan berarti
sama, Indonesia saja bhinneka tunggal ika
kok. Guru SMA-ku pernah mengatakan tidak ada ormas yang memiliki pembenaran
dalam Alquran, pembenaran itu
hanya klaim dan hasil keputusan dari kalangannya saja, yang benar itu adalah
mengikuti Alquran dan As-sunnah, itu saja kok”
jawabku, Naina menatapku lalu memalingkan wajahnya keluar jendela, menatap
dengan nanar seolah mencerna apa yang baru saja dia dengar.
Mesin
mobil menderu dengan lembut, hampir tak terdengar. Ada sunyi yang menyelinap diantara
kami, aku membiarkan Naina dengan pikirannya yang terlihat kalut dan bingung.
Aku pun merenung, ada hal yang terlintas di benakku. Dulu saat Indonesia
dijajah, semua masyarakat bersatu padu melawan penjajah tanpa peduli siapa
kawannya, entah itu sesama muslim, tionghoa, kristen, dan lain-lain, dan hasil
dari persatuan itu adalah kemenangan mutlak bagi Indonesia. Lalu kubandingkan
dengan zaman sekarang, kupikir lebih sulit untuk melawan sesama bangsa. Dalam
arti melawan hal yang salah dan sudah membudaya di Indonesia. Memikirkan saja
sudah membuat kepalaku berdenyut-denyut.
“Aisyah,
sungguh aku ingin sekali umat muslim bersatu tanpa ada keretakan diantaranya,
ya memang aku belum menjadi muslim yang baik, namun keinginan ku
sungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Coba bayangkan, bila umat muslim bersatu
dan tidak ada lagi persaingan untuk kepentingan pribadi, kita bisa memberikan
pengajaran untuk pondasi akhlak yang baik” ujar Naina tiba-tiba, matanya
berkilat-kilat penuh semangat.
“Kenapa
harus akhlak?” tanyaku tertarik, Naina yang mendengar pertanyaanku mendengus
kesal.
“Duh kau itu pintar tapi lemot luar biasa. Dengar, kalau kita
menguatkan akhlak yang baik sebagai pondasi, anak-anak kecil yang akan menjadi
generasi penerus akan menjadi orang dewasa yang bijaksana. Tidak akan ada lagi
perebutan kekuasaan, atau berusaha untuk kepentingan pribadi, aku sudah muak
dengan Indonesia yang seperti ini” Jawab Naina, ia melipat tangannya dan
bersandar pada kursi. Aku hanya terdiam, kagum mendengar jawaban yang diberikan
Naina, namun aku tak bisa berkilah. Aku biarkan sunyi itu kembali hadir
diantara kami.
Mobil
berhenti sejenak karena lampu merah, aku melihat sekeliling lalu melihat jam.
Masih 20 menit lagi untuk sampai ke halte dekat rumahku. Mobil ini berhenti di
lampu merah yang terkenal karena ada patung indah yang dibangun didekat tiang.
Namun berkali-kali aku melihatnya, aku masih tak mengerti apa bentuknya. Entah
artistik mereka yang tinggi atau memang aku yang tak mengerti seni.
“Itu
kuda!!”
“Bukan,
itu keledai!!”
“Kuda!”
“Keledai!”
“Kudaaaaa!!”
Aku
terlonjak kaget saat mendengar teriakan itu, ternyata dua anak yang dibawa oleh
ibu di belakang
bertengkar. Mereka saling berteriak dan hampir saja saling memukul. Sang ibu
berusaha memisahkan mereka berdua dengan berada di tengah-tengah keduanya,
dengan napas
tersengal-sengal sang ibu berbicara entah apa untuk menenangkan kedua anaknya. Wajah
mereka masih merah dan sedikit kerutan di alisnya masih tergambar, namun
keduanya bersalaman lalu berpelukan. Di lain sisi, sang ibu tersenyum senang
melihat anaknya berpelukan, ia mengusap-usap punggung kedua anaknya agar tenang,
lalu mereka berdua duduk kembali.
“Ah
kaget aku, mereka sudah seperti orang dewasa saja berkelahi seperi itu. Tapi memang
sih, bentuk patung itu tidak jelas, bahkan kupikir itu bukan kuda atau keledai”
Ucap Naina setelah melihat pertengkaran anak kecil tadi, tiba-tiba sesuatu
melintas dalam otaku. Tak sadar aku menepuk bahu Naina dengan keras.
“AAA!
Sakit, Syah”
Naina menggerutu sambil mengusap-ngusap bahunya, tetapi aku tak menghiraukan
Naina.
“Naina,
dengar! guru SMA ku pernah
bercerita...”
“Lagi-lagi guru SMA” Ucap Naina sambil memutar bola
matanya, aku mendengus karena Naina tiba-tiba memotong pembicaraanku.
“Dengarkan dulu! Beliau
itu orang yang dekat dengan ulama, lalu pada suatu hari ada satu video yang booming di kalangan ulama, yaitu video wanita
yang menginjak-injak Alquran. Pada saat guruku
kesana, mereka sedang marah-marah dan merasa terhina dengan video tersebut.
Lalu mereka bertanya pendapat guruku tentang video tersebut, lalu apa coba yang guruku katakan?” tanyaku pada
Naina, berharap rasa penasarannya bangkit, Naina yang sedari tadi hanya
menatapku heran ia menggeleng pelan, lalu aku tersenyum.
“Beliau menjawab, biasa aja ah, lalu semua ulama
terdiam dan menatap dengan heran, lalu ada satu orang bertanya lagi, kenapa
anda merasa biasa saja?! Apa anda tidak merasa terhina?! Tanya orang itu pada
guruku dengan wajah yang marah, namun guruku menjawab dengan tenang, dia
bilang………….” Saat aku ingin melanjutkan ceritaku Naina memotong.
“Bentar-bentar ini maksudnya kemana sih?” tanya Naina
“Dengarkan dulu!” Jawabku gusar karena dia sudah
memotong pembicaraanku dua kali, Naina tertawa kecil dan mempersilahkan aku untuk
melanjutkan ceritanya.
“Beliau bilang, ini yang menghina muslim atau kafir?
Tanya guruku, mereka menjawab kafir, lalu guruku berkata lagi, ya sudah tak
usah dipermasalahkan, dulu Rasulullah pun sama dihina, dicaci maki oleh kafir. Bahkan
disebut pembohong, lebih parah dari apa yang kita rasakan sekarang. Namun
beliau tak pantang menyerah untuk berdakwah kepada seluruh umat manusia,
akhirnya umat muslim mendapat masa kejayaannya. Setelah mendengar jawaban itu
tak ada lagi yang berkata” Ucapku mengakhiri cerita dengan senyuman, namun raut
wajah Naina masih merasa janggal.
“Terus hubungannya dengan obrolan kita tadi apa?”
tanya Naina lagi, aku mendengus kesal, namun aku mencoba menjelaskannya dengan
sabar.
“Kau ingat anak kecil yang berkelahi tadi? Masyarakat
saat ini ibaratkan seperti itu, saat ada perbedaan mereka dengan gegabahnya
memperdebatkan yang bahkan mereka sendiri belum tau kebenarannya. Makanya
masyarakat saat ini disebut bersumbu pendek dan mudah di adu domba, nah lalu
apa yang harus dilakukan umat muslim untuk menghentikannya?” tanyaku padanya. Ia
menatap padaku dengan mata yang berkilat-kilat lalu menjentikkan jarinya.
“Umat muslim harus bersatu untuk mengingatkan kepada
sesamanya untuk tidak mudah termakan omongan yang mudah mengadu domba, mereka
harus bisa berpikir dingin, dan umat muslim harus bersatu untuk bisa
menyebarkan pemahaman tersebut, dan Indonesia akan mengalami perubahan dan akan
semakin maju” Ucap Naina, ia tersenyum lebar lalu menghempaskan punggungnya
dengan wajah puas, sambil menerawang apa yang selanjutnya harus ia lakukan.
Aku tersenyum melihat reaksinya, namun tanpa sadar aku
pun mulai mengingatkan diriku untuk bisa memberdayakan diriku dan umat muslim
semua untuk bisa membuat perubahan positif bagi Indonesia.
Setelah diskusi alot itu, kami tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Dan tanpa sadar hujan kembali mengepung, berbenturan dengan
tubuh bus, membuat suara berisik di telinga kami. Pikiran kami mengawang-awang,
membayangkan betapa indahnya jika umat muslim bersatu, dan membantu Indonesia
untuk maju. Seperti laju bus ini, konsisten dan pasti.
Komentar
Posting Komentar