Chopini - 'Mungkin' Untuk yang Pasti



Bagi kaum rapat, sepertinya sudah tidak asing dengan keberadaan orang-orang yang senantiasa berdiri di depan memimpin rapat dengan kegagahan dan kegigihannya dalam menyampaikan suatu gagasan. Atau orang-orang yang berdiri di depan kelas mempresentasikan salah satu tugas matakuliah yang terkadang tidak manusiawi. Ada apa dengan orang-orang ini? Bagi kamu yang masih memiliki minat untuk mendengarkan orang-orang ini berbicara di depan publik, biasanya tidak asing dengan kata ‘mungkin’.
Ada apa dengan kata mungkin? Mari kita lihat dibawah ini

“Mungkin cukup sekian yang dapat saya sampaikan”
“Mungkin tema diskusi yang akan dibahas hari ini mengenai dampak globalisasi”
“Mungkin tidak ada pertanyaan lagi”

Dan mungkin mungkin mungkin lainnya.
Aku termasuk manusia rapat yang tidak asing dengan kalimat ini, saking seringnya orang-orang berkata ‘mungkin’ dalam setiap kalimatnya, pernah suatu kali seorang senior memotong pembicaraan juniornya karena merasa gerah dengan kata’mungkin’ ini.

“Hey kamu, kalau yang kamu katakan itu sudah pasti, gak usah lah pakai kata mungkin” begitulah kira-kira ucapannya, yang akhirnya membuat suasana rapat semakin tegang.

Kenapa kata ‘mungkin’ ini perlu sekali dibahas? Tentu saja, berkaitan dengan kejadian diatas, bagi sebagian orang kata ‘mungkin’ yang selalu disematkan dalam setiap penyampaian membuat pendengarannya merasa gerah. Pasalnya, kata ‘mungkin’ ini selalu disematkan pada hal-hal yang sudah pasti.

“Mungkin tema diskusi hari ini adalah.....”

Ada yang aneh? Ya, ya tentu saja aneh. Karena untuk sebuah tema yang akan disampaikan pada sebuah diskusi bukan lagi hal yang tidak pasti. Sehingga tidak perlu kata ‘mungkin’ disematkan dalam kalimat pengantar. Mari kita cari tahu lagi bagaimana penggunaan kata ‘mungkin’ yang seharusnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘mungkin’ sama artinya dengan tidak tentu, belum tentu, memandang (menganggap) mungkin (dapat terjadi), misalnya seperti “mungkin besok akan hujan, sebaiknya membawa payung saja untuk berjaga-jaga”. Dengan memakai logika yang sama, jika kalimat “mungkin cukup sekian yang dapat saya sampaikan” ini berarti bisa saja saat diskusi baru saja ditutup kemudian sang moderator membuka lagi diskusi dengan berkata “oh iya ada hal yang ingin saya sampaikan lagi, tadi saya bilang kan  mungkin cukup, ternyata belum” masa gitu sih.
Penggunaan kata ‘mungkin’ ini menjadi salah kaprah karena tidak digunakan sebagaimana mestinya, dan dianggap bukan masalah besar karena sudah terbiasa dengan penggunaan yang seperti itu. Hal yang seperti ini biasanya pada awalnya biasa lama kelamaan menjadi kebiasaan dan akhirnya dianggap lumrah karena kekeliruan tersebut sering terjadi.

Lantas kenapa para pejabat rapat atau para pembicara presentasi suka sekali menggunakan kata ‘mungkin’ pada setiap kalimat pengantar dan penutupnya? Setelah bertanya kesana kemari membawa alamat jengjeng, didapatkan bahwa orang-orang yang suka berkata ‘mungkin’ ini merasa terbiasa dengan hal tersebut. Entah karena mendengarkan orang lain ataupun melakukannya secara terus menerus sehingga hal tersebut dirasa biasa. Bahkan dikatakan bahwa jika menghilangkan kata ‘mungkin’ dalam pembuka maupun penutup merasa ada yang hilang. Itulah akibat dari biasa menjadi kebiasaan.

Setelah menyadari kekeliruan mengenai kata’mungkin’ ini, kita tinggal mencari tahu bagaimana kebiasaan suci ini bisa dilaksanakan. Sebab permasalahan mengenai ke-tata-bahasa-an ini selalu menjadi permasalahan yang luput dari pengamatan. Hanya sekedar check and re-check pun belum tentu dilakukan terutama oleh para generasi muda yang katanya akan mewarisi seluruh kebudayaan termasuk kebahasaannya.

Jadi bagaimana caranya? Ya~ salah satu cara yang bisa dilakukan agar virus-virus semacam kata ‘mungkin’ yang digunakan secara tidak tepat ini kembali menyebar adalah dengan membiasakan penggunaan kata-kata secara tepat. Ah buat apa sih ribet-ribet? Oh tentu saja kita sebagai generasi millenial yang akan memegang bangsa di masa depan ini, ehem, harus mengetahui bagaimana cara berbahasa yang baik dan benar. Sebab segala kekeliruan ini akan berdampak pada banyak hal. Misalnya seperti buta makna kata, buta tata bahasa dan segala kebutaan lainnya. Segala kekeliruan ini tidak hanya berdampak bagi individu tetapi juga pada pihak umumnya, bahkan dalam dunia kejurnalistikan sekalipun yang erat kaitannya dengan kebahasaan pun jika kita jeli akan ditemukan kekeliruan kecil seperti ini.

Gak lucu aja kalau misalnya orang Indonesia yang notabene nya pasti bisa bahasa Indonesia yang baik dan benar lantas kalah dengan bule yang belajar bahasa Indonesia tetapi lebih tahu penggunaan kata dengan benar. Jadi kok yaa gimanaa gitu. Apalagi sekarang bahasa Indonesia sudah mulai dipelajari di beberapa negara dan bahkan menjadi bahasa ke dua di negara tertentu. Kalau kemudian semesta mempersatukan kita lalu kita saling bertukar pengetahuan tentang Bahasa Indonesia, lantas ada yang keliru dengan pemahaman kita. Kan gak lucu.

Kecuali kalau para bule ini juga mempelajari cara presentasi atau berbicara di depan umum layaknya budaya timur yang termasuk ke dalam komunikasi high context. Bisa jadi mereka juga menggunakan kata ‘mungkin’ untuk sebuah hal yang pasti atau kata-kata lain yang penggunaannya tidak tepat. Leh uga khan.

Jadi sebisa mungkin mulai dari sekarang, aku, kamu, kita sebagai generasi millenial mulai menerapkan kebiasaan berbahasa yang baik dan benar, sehingga dapat ditularkan kepada generasi sebelumnya dan generasi selanjutnya demi kelestarian bahasa kita. Tidak rugi kan kalau kita tahu penggunaan kata yang benar,  toh kita masih bisa menggunakan bahasa yang gawl dan kekinian. Kalau kata pepatah orang sunda  mah elmu teu beurat mamawa. Sebanyak apapun ilmu yang kita punya tidak akan membuat kita kesulitan membawanya. Mungkin dimulai dari mengetahui penerapan kata yang benar bisa menjadi salah satu cara kita untuk melestarikan bahasa Indonesia. Eh penggunaan ‘mungkin’nya udah bener kan?


Gambar : pixabay.com

Komentar

Postingan Populer