Short Story - Flashback
Tuk ... Tuk ... Tuk
Suara
tetesan air hujan menjadi berdentangan ketika turun diatas atap seng. Seolah
menjadi alarm bagi orang-orang yang masih tertidur. Suara adzan masih sayup-
sayup terdengar dari kejauhan, berlomba dengan suara air hujan. Pagi itu aku
sudah siap dengan mukenaku, air wudhu masih bergantung didaguku menunggu
gravitasi menjatuhkannya. Sebelum aku memulai shalat, sesuatu melintas
dipikiranku. Sekarang ini bulan November, dan tak lama lagi aku harus siap
melepas seragam putih abu-ku. Tak terasa, dunia ini berotasi dengan cepat,
seolah tak memberiku waktu untuk merasakan bagaimana rasanya berkembang. Kemudian
aku tersadar ada sesuatu yang harus dikerjakan, segera aku berdiri dengan
tumaninah dan mengangkat tanganku. Allahuakbar.
Air wudhu di daguku jatuh seiring takbir diucapkan.
***
“Dee, sarapan dulu” suara merdu
ibuku terdengar dari arah dapur, aku masih sibuk mencari ikat pinggang diantara
tumpukan baju.
“Ya buu” Jawabku, tanganku masih menyusup
diantara baju-baju yang tersusun rapi. Tak lama kemudian ikat pinggang pun
ditemukan, segera aku pakai dan keluar dari kamarku.
“Lihat sekarang jam berapa, cepat
makan nanti terlambat” Ucap ibuku, aku mengangguk. Setelah membawa sarapan, aku
menghampiri keluargaku yang sedang berkumpul di ruang depan menikmati sarapan
dari tangan ajaib ibuku. Semula tak ada pembahasan yang serius, kemudian kami
melihat di televisi tentang UN. Tiba-tiba ayahku berbicara.
“gak kerasa ya anak papap sudah
besar, mau kuliah, papap makin tua” Ucapnya dengan tersenyum, kerutan di sisi
matanya menampakkan wujudnya, membuat ayahku terlihat tua dan menyadarkanku
bahwa seiring aku tumbuh berkembang, orangtua ku pun semakin bertambah usia.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan ayahku.
“iya pa, nanti rumah semakin sepi.
Anak-anak mulai hidup diluar, jauh dengan kita. Tapi gak apa-apa yang penting
anak-anak ibu dan papap selalu menjadi kebanggaan” Timpal ibuku.
“Kita enggak akan ninggalin ibu
dengan papap kok” Ucap kakakku, aku dengan kakakku yang lain mengangguk. Lalu
aku ikut menimpali
“ade akan buat ibu dan papap bangga
tenang aja bu” Ucapku, ibu dan ayahku tersenyum. Tak lama kemudian aku
berangkat menuju sekolahku di dekat pusat kota. Jam 06.48 aku baru sampai
didepan gerbang, kebiasaanku tidak pernah masuk pagi-pagi karena membosankan
menunggu bel lama-lama di sekolah. Aku memang tipe orang yang kurang suka
menunggu bersenda gurau dengan orang lain tetapi bukan berarti aku tidak punya
teman.
Ketika masuk kedalam sekolah aku
menatap bagian depan sekolah, kemudian tiba-tiba aku teringat kembali 2 tahun
yang lalu, ketika baru saja pertama kali
menginjakkan kaki disekolah ini. Masih memakai seragam putih biru, belum
memakai jilbab dan masih berpenampilan layaknya anak SMP. Membawa berkas dengan
namaku didepannya, “Talita Bachteriawan” rasanya bangga sekali masuk ke sekolah
yang disebut sebagai sekolah terfavorit di kotaku.
Dan sekarang sudah 3 tahun aku disini, sekolahku
menjadi saksi bisu sejarah kehidupanku. Kurang lebih 8 jam aku habiskan waktu
di sekolah, waktu yang cukup bagi sekolahku untuk menyaksikan bagaimana
kehidupanku sehari-hari. Dan yang kusadari lagi, seiring bertumbuhnya diriku,
semakin bertambah usia ayah dan ibuku. Rasanya dunia semakin menua, tergerus
oleh zaman dan teknologi.
Aku melangkahkan kaki menuju kelas, menyusuri
lorong-lorong yang sudah dipenuhi oleh siswa-siswa yang sedang menunggu bel
sekolah. Seperti biasa, ketika aku sampai dikelas suara ribut langsung
terdengar oleh gendang telingaku. Kelasku memang seperti ini, tak pernah sepi
dari suara-suara gaduh. Beberapa orang menyambutku dengan pekikan suara mereka,
suara pagi yang selalu terdengar.
“Tataaaaaaaa” begitulah kira-kira sapaannya, wajah
teman-temanku begitu ceria seolah tak ada beban dalam hidupnya. Mungkin mereka
belum menyadari perpisahan sedang menunggu didepan kita. Tak lama kemudian bel
pun berbunyi, semua sisawa berhamburan masuk kedalam kelas. Menghampiri
kursinya masing-masing bersiap untuk menerima ilmu dari pahlawan tanpa tanda
jasa. Aku pun mengeluarkan buku dan menatap guru yang baru saja memasuki kelas.
***
Bel istirahat pun berbunyi, para
siswa pun segera keluar untuk menyerbu para penjaga kantin. Aku biasa membawa
bekal dari rumah, tetapi tetap saja rasa lapar melanda jika bekal dari rumah
tak cukup untuk memuaskan cacing cacing dalam perutku. Kulihat temanku yang
keluar masuk kelas, orang-orang yang berbeda karakteristik bersatu dalam sebuah
tempat. Tak lama lagi sesuatu dari kelas ini akan menjadi hal yang dirindukan,
mau tidak mau. Bagaimana ributnya kelasku, bagaimana solidnya kelasku,
bagaimana menyebalkannya kelasku, bagaimana suasana debat didalam kelas,
bagaimana melihat temanku yang sering dispensasi karena gila organisasi.
Aku bukan termasuk orang yang gila
terhadap organisasi, disekolahpun aku jarang megikuti kegiatan. Pernah aku
mengikuti kegiatan dan menjadi panitia sebuah acara disekolahku, menurut
teman-temanku menjadi panitia menyenangkan, tapi tidak bagiku. Lalu aku menjadi
pengurus OSIS, untuk mengetahui apa hal yang menarik dari organisasi, tapi aku
masih belum menemukannya. Tetapi aku aktif didunia karate, bisa dibilang aku
cukup biasa dalam mengikuti pertandingan. Walaupun aku tidak aktif organisasi,
orang-orang banyak mengenalku karena karate itu. Yah orang memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing kan?
Sekarang ini siswa kelas XII sedang
sibuk mempersiapkan hari yang sangat dimuliakan, 4 hari yang menentukan
kehidupan kami. Hari ujian nasional. Ada siswa yang santai-santai saja
menghadapi ujian, ada yang sibuk dan bahkan menjadi freak sebelum menghadapi ujian nasional. Sibuk les kesana kemari,
sibuk berlatih soal-soal, sibuk dengan program penajaman disekolah, sibuk
mencari universitas terbaik untuk
menjadi batu pijakan kehidupan dan sibuk mencari passion dalam diri
masing-masing.
“Tata masih latihan karatae?” tanya
seorang temanku tiba-tiba saat aku sedang makan dan sibuk dengan pikiranku. Aku
menoleh padanya.
“iya masih” jawabku, dia
terperangah.
“wah ahrus bagi waktu dong, kereeen”
Ucapnya lagi, aku hanya tmengangguk. Sebenarnya terkadang aku merasa lelah
dengan jadawal yang selalu padat seperti ini. Tetapi rasa antusiasku terhadap
karate tak menyurutkanku untuk terus mengikuti latihan.
“Sebentar lagi kita bakal pisah satu
kelas, jangan sombong ya kalo udah keluar” Ucap temanku.
“Iya gaakan” jawab temanku yang
lain. Aku ikut mengangguk. Sebenarnya
itu kata-kata bohong yang selalu diucapkan sebelum perpisahan terjadi, tetapi
pada kenyataannya tidak speerti apa yang diucapkan. Manusia selalu berubah
tergantung lingkungan. Tak lama kemudian bel sekolah kembali berbunyi. Saatnya
kembali belajar.
***
Bel pulang membuat semangat siswa kembali bertambah,
semua wajah kembali ceria. Tangan-tangan mereka pun sibuk membereskan
barang-barang yang ada diatas meja. Aku keluar paling terakhir.Sebelum aku
benra-benar meninggalkan kelasku, aku menatapnya kembali. Walaupun ada saat ini
yang tidak suka terhadap kelasnya sendiri, tapi aku yakin suatu saat ia akan merasa
rindu bahkan sampai hal-hal terkecilnya. Dan itu juga mungkin berlaku bagiku,
walaupun sekarang belum merasakan apa-apa mungkin nanti aku akan merasa rindu
walaupun sedikit.
Aku senang bisa menjadi bagian dari sejarah sekolah
ini dan semoga sekolah ini senang menjadi bagian sejarah hidupku. Tak disadari
sekolah memberi banyak nilai kehidupan yang akan kita pakai di masa depan nanti
dan sekolah memberi kenangan yang akan dikenang di masa depan. Menjadi
simbiosis mutualisme dalam kehidupan dan suatu saat, siswa yang sekarang sedang
bersenda gurau atau sedang melamun, akan menjadi orang besar yang bisa
membanggakan almamaternya. Akupun berharap demikian, saat kulihat lambang
sekolahku akan kukatakan bahwa aku bukanlah lulusan yang hanya sekedar lulus,
tetapi juga akan memberikan sebuah tropi kebanggaan untuk sekolah yang bisa
diperlihatkan kepada siapapun.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar