Short Story - Rasional (Ketika Patah Hati Membangunkan Logika)



“Iya, kau lebih rasional sekarang” ucapnya di sela-sela makan malam di sebuah warung nasi goreng perempatan jalan. Aku hanya tersenyum masam sambil menatap nasi goreng yang masih ku aduk-aduk.
            “Tapi kau tak usah khawatir, dia juga sudah rasional. Otak kalian sudah sama-sama jalan” sambungnya lagi sambil terkekeh, aku mulai memakan nasi goreng yang kepulannya sudah berkurang dan tak menjawab apa katanya.
***
            Malam itu entah kenapa udara lebih dingin dari biasanya, menusuk pori-pori dengan ganas sehingga memaksaku untuk mengusap-usap tangan berulang kali menemukan kehangatan. Secangkir teh panas sudah menunggu di atas meja, kepulannya menari-nari seolah meminta untuk segera diseruput di tengah dinginnya udara. Aku memejamkan mata dan membuang nafas berat, menatap nanar langit-langit kamar sambil bersandar malas di kursi. Usai makan malam bersama tidak membuat perasaanku lebih baik, berharap dapat menenangkan hati, namun otak malah menginginkan kilas balik.
            “Percayalah kau yang terbaik, tak ada yang bisa menggantikanmu” kalimat itu kembali terngiang-ngiang mengganggu ketenangan otak. Robi, laki-laki berlidah licin itu memang pandai sekali berkata-kata. Entah ilmu apa yang ia pakai, kalimat yang meluncur dari mulutnya selalu berhasil meyakinkan orang-orang, termasuk aku. Tapi setelah 7 tahun berlalu, kalimat manis itu tidak lagi mempan. Terlalu banyak aku menelannya sehingga rasanya sudah diabetes akut.
            “Kau tak perlu marah-marah seperti itu, dia hanya teman. Kalau sudah cemburu otakmu itu irrasional. Sama seperti dia” ucapnya suatu hari.
            “Memang dia siapa bisa cemburu padamu sampai sama irrasionalnya seperti aku?” tanyaku sinis.
            “Dia hanya teman, teman dekat tidak lebih” ucapnya meyakinkan
            “Sampai berhubungan setiap hari? Sampai kau pergi berdua dengannya? Bahkan aku tak tahu jika saja orang-orang tak bilang padaku” Suaraku meninggi, nafasku memburu menahan amarah.
            “Lihat, lagi-lagi pikiranmu tidak rasional. Ku katakan sekali lagi bahwa kau yang terbaik. Tak ada yang bisa menggantikanmu” Ucapnya lagi setelah membuang nafas berat, kemudian mengelus kepalaku sebagai kompensasi karena membuatku meledak.
Aku menggelengkan kepala membuang semua ingatan tersebut, kemudian membenarkan posisi duduk. Dia pikir manusia bodoh mana yang akan percaya kata-katanya usai tahu ia pergi dengan ‘teman dekat’nya? Hanya wanita sinting yang akan akan percaya pada kata-katanya setelah dijejali rayuan klasik bertahun-tahun.
***
            “Aku ingin putus” ucapku pada suatu hari, melihat raut wajahnya berbeda agaknya ia sedikit terkejut.
            “Tapi kenapa?” tanya nya lagi, rasanya aku ingin tertawa antagonis dihadapannya. Setelah banyak hal yang ia lakukan masih belum sadar juga bahwa dia melakukan kesalahan.
            “Kau masih mempermasalahkan aku dan dia?” tanya nya lagi, aku menatapnya berharap ia mengerti maksudku.
            “Dengar, kita sudah lama bersama-sama, keluargaku bahkan sudah mengenalmu dengan baik, sulit untuk mendeskripsikannya tapi kau dan dia benar-benar tak sebanding” ucapnya sembari mengusap wajah frustasi, aku terdiam menahan air mata. Gengsi untuk menjatuhkannya pada situasi seperti itu. Tak sebanding katanya? bisa ku deskripsikan betapa dustanya kalimat tersebut.
            “Pada saat itu kau bilang tak suka memakai gelas yang sama dengan orang lain kecuali aku, sekarang kau tak masalah berbagi gelas dengannya. Saat itu kau bilang mengobrol denganku adalah waktu terbaik karena pada saat itu kita bisa bebas mengobrol tanpa perlu membuka hp, tapi sekarang sesekali kau membuka hp membalas pesan teman dekatmu. Kau bilang kau tidak suka pergi berlama-lama dengan orang lain, nyatanya kau pergi berdua dengannya. Aku masih punya hal lainnya jika kau rasa ini belum cukup. Dan semua hal ini memberiku informasi yang cukup untuk mengetahui seberapa dekat kau dengannya” ucapku sembari terengah-engah, pertahananku rubuh, air mata jatuh tanpa permisi. Robi terdiam, lelaki berlidah licin yang pandai berkelit itu akhirnya terdiam sejenak.
            “Kita sudah membahas ini berkali-kali, hal kecil seperti ini selalu membuat tali rasionalitasmu putus. Sudah kukatakan bahwa dia tak sama dengan kau, tak bisa. Tak akan bisa, percaya padaku” Suaranya sedikit meninggi namun masih tertahan, aku terisak menahan tangis agar tak turun lebih hebat lagi.
            “Hal kecil ya, apa memeluknya juga adalah hal kecil bagimu? Bagaimana mungkin aku tak cemburu saat kau memperlakukan orang lain sama denganku. Lalu apa bedanya aku dengannya?” tanyaku lagi sedikit tercekat, ada cubitan kecil dihatiku saat mengatakannya. Kali ini ia benar-benar terdiam, tak mengeluarkan kalimat pembelaan, menatapku dengan tatapan memelas agar aku percaya saja padanya.
            “Dan tentang tali rasional, kurasa inilah pikiranku yang paling rasional. Meninggalkan seseorang yang berkata tidak rasional disaat pasangannya secara wajar cemburu melihat lelakinya bersama orang lain. Kau dan aku cukup sampai disini, pergilah dengan wanita rasionalmu itu. Aku takkan mengoceh lagi” ucapku mengakhiri perdebatan bodoh itu. Aku mengemas tasku dan bergegas meninggalkannya yang masih menatapku dengan memohon. Persetan dengan rasional, aku masih ingin hidup bahagia tanpa harus menjadi ‘wanita irrasional’.



Written By : Fantriacho

Komentar

Postingan Populer